Selasa, 25 November 2008

OPINI

Berpikir Kritis : Membuat 'Ibu Pergi Dugem'
(Budi Hartanto - Iklan 06)
Buatlah kalimat dengan menggunakan kata ‘Ibu’, maka sejak zaman SD kita mengenal tulisan hingga sekarang pasti dengan mudah keluar dari mulut kita adalah kalimat 'Ibu pergi ke pasar'. Salahkah kalimat tersebut? Secara teknis bahasa, kalimat tersebut sama sekali tidak salah, karena syarat utama kumpulan kata menjadi kalimat adalah dengan adanya subjek dan predikat saja. Cukup dengan 'Ibu pergi' saja sebenarnya sudah menjadi sebuah kalimat. Tapi apakah pantas seorang mahasiswa disuruh membuat kalimat dengan kata Ibu cukup dengan kalimat 'Ibu pergi ke pasar’? Rasanya tidak perlu susah-susah kuliah dan mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah jikalau hanya untuk membuat kalimat seperti itu, dengan latar belakang pendidikan kelas 2 SD pun sudah bisa membuat kalimat seperti itu.

Itu pengantar tulisan ini yang mencoba mem-brain storming pembaca. Sebagai mahasiswa seolah selama ini pikiran kita terlalu terbelenggu oleh sesuatu yang konservatif dan merasa nyaman ketika sesuatu yang konservatif tersebut sudah dianggap benar di masyarakat. Contoh kalimat di atas hanyalah sedikit dari cerminan fenomena yang saya tangkap di kalangan teman-teman (mungkin termasuk saya) sebagai mahasiswa komunikasi Universitas Nasional. Selama ini kita merasa nyaman dengan kebenaran yang ‘itu-itu saja’, yang akhirnya membuat kita menjadi malas untuk sekedar berpikir kritis dan kreatif mencari sesuatu ‘yang benar’ yang lain dan akhirnya suplai ilmu yang kita transfer dari dosen pun hanya pada taraf ‘kuno’ tadi seolah melupakan bahwa zaman di luar sana terus berkembang. Inilah yang saya ingin coba soroti dalam tulisan ini, yakni mengajak teman-teman untuk mau berpikir kritis dan kreatif mencoba keluar dari kotak. Berpikir kritis dan kreatif yang saya maksudkan di sini adalah mau menangkap berbagai peristiwa yang terjadi di luar sana sebagai bentuk aplikasi teori-teori komunikasi yang kita dapatkan di kampus, sehingga dalam menerjemahkan teori-teori tersebut ada relevansinya dengan perkembangan zaman. Jurusan kita adalah komunikasi merupakan jurusan yang berkaitan erat dengan seni, budaya dan teknologi, sedangkan di luar sana ketiga hal tersebut terus berkembang pesat. Dikhawatirkan jika kita tidak mau mencoba out of the box ketika terjun ke industri sebagai dunia yang sesungguhnya kita mengalami kegagapan zaman. Contoh paling kecil misalkan berkenaan dengan tugas-tugas kuliah, selama ini kita kadang menyepelekan hal tersebut dengan hanya copy-paste dari internet dan sudah, prinsip yang penting ngumpulin menjadi legitimasi kita untuk sekedar mengejar kelengkapan nilai dari dosen. Padahal melalui tugas sebenarnya kita bisa mencoba menggali sebuah fenomena di dunia ini yang bekorelasi dengan teori-teori yang kita dapatkan untuk kemudian didiskusikan di dalam kelas (boro-boro bisa berdiskusi, lha wong tiap diskusi saja lebih banyak diam, lebih baik menunggu teman-teman lain saja yang aktif, yang penting hadir di kelas, setor muka pada dosen). Di sinilah menurut saya pribadi yang menunjukkan kekritisan dan kekreatifan kita sebagai mahasiswa komunikasi UNAS sangat-sangat kurang. Hmm... jikalau mau mencoba berani membandingkan apa yang dilakukan mahasiswa komunikasi kampus lain, mungkin bisa menumbuhkan semangat kita atau minimal niat untuk berpikir kritis dan kreatif. Misalkan, seorang teman saya yang mengambil jurusan Komunikasi Massa di UI, ketika mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi dia meneliti komunitas gay. Dalam hati saya berdecak kagum setelah melihat rekaman video interviewnya,

“Gila Loe Ren, ini tugas kuliah nih atau tugas akhir?”
“Tugas kuliah biasa Bud…”
“Mantap, tugas kuliah biasa aja kayak gini…”
Bukan persoalan gay yang saya soroti tetapi saya kagum pada kemauannya berpikir kritis dan kreatif sobat saya tersebut dalam menangkap fenomena yang ada di masyarakat ke dalam sebuah tugas (yang mungkin bagi kita mahasiswa UNAS tidak pernah terpikirkan hal tersebut). Masih banyak contoh-contoh lain dari sahabat-sahabat saya yang kadang membuat saya berpikir, apakah dengan yang selama ini saya jalani di UNAS akan mampu bersaing dengan mereka ketika sudah sama-sama terjun ke industri? Memang terkadang faktor kekritisan dan kekreatifan kita tidak lepas dari pengajar (dalam hal ini dosen) dalam membawakan materi kuliahnya. Tidak dipungkiri pula ketika para dosen seperti menurunkan ‘standar’ ilmunya ketika berhadapan dengan kita? atau memang ilmu yang dimiliki dosen-dosen kita ‘dibawah standar’? Contoh menurunkan ‘standar’ ini pernah saya alami ketika di kelas seorang dosen yang akhirnya terkesan bercanda (namun bagi saya menyakitkan) berkata

"Ayo donk dikerjakan yang serius tugasnya, kalau di kampus lain hal seperti ini biasa saja, tidak perlu dijadikan tugas.."

Mahasiswa lain hanya tersenyum dan sebagian tertawa, tapi bagi saya ini seperti kefrustasian dosen yang merasa daya kritis dan kreatif mahasiswanya sangat-sangat kurang. Lalu fenomena yang diduga ‘dosen kurang ilmu’ suatu ketika dalam dua diskusi kelas saya mengajukan pertanyaan yang sama, sebuah pertanyaan sederhana namun menurut saya relevan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi. Pada kelas pertama pertanyaan saya mampu dijawab oleh dosen dengan jawaban yang sangat memuaskan, berarti memang pertanda jikalau dosen ini memang mengikuti perkembangan zaman. Tapi pada kelas yang lain pertanyaan simpel saya dijawab dengan berputar-putar dan tidak menyentuh esensinya sama sekali, justru tanggapan dari teman saya (yang saya bersyukur akhirnya dengan pertanyaan saya tersebut diskusi kelas yang tadi nya hambar menjadi mulai panas) yang mampu menjawab. Saya jadi curiga jangan-jangan dosen ini tidak tahu apa yang saya tanyakan. Pertanyaan yang sama pada dua kelas tadi seolah menunjukkan perbedaan ‘kualitas’ kedua dosen tadi.

Sekali lagi melalui tulisan ini saya mencoba mengajak teman-teman (termasuk saya pribadi) untuk mau berpikir kritis dan kratif dalam setiap perkuliahan, terepas dari berbagai faktor eksternal (seperti yang salah satu saya sebutkan di atas adalah dosen) tapi saya berharap muncul pada setiap diri masing-masing mahasiswa sehingga potret garing pada setiap diskusi kelas atau copy-paste pada setiap tugas minimal bisa berkurang.. Berpikir kritis dan kreatif yang dimaksud adalah mau berpikir mencari korelasi antara kenyataan yang ada dengan teori-teori yang sudah didapatkan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, kuncinya adalah sensitif dengan perkembangan zaman khususnya fenomena-fenomena dunia dengan mengikuti arus informasi (jikalau malas membaca buku atau koran, minimal tonton siaran berita TV). Betapa menyenangkan ketika diskusi kelas menjadi panas sebagai ajang adu ide dan gagasan serta tugas-tugas kuliah menjadi tulisan ilmiah kecil-kecilan yang menjual ide, sehingga ketika kita disuruh membuat kalimat dengan kata ‘Ibu’ tidak lagi merasa puas dengan kalimat Ibu pergi ke pasar, melainkan kita bisa membuat kalimat yang tidak hanya benar tapi sesuai dengan perkembangan zaman, misalkan 'Ibu pergi dugem' (Kenapa tidak? banyak ibu-ibu muda zaman sekarang yang menghabiskan malam dengan dugem kok..). Wallahu alam bishawab

Kunjungi juga blog penulis di http://budzaemon.blogspot.com/

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sangat diperlukan kesepakatan dosen-dosen yang terlibat di dalamnya, sebuah sistem adalah mubasirnya hal-hal yang dianggap menonjol, walau hal itu disadari adalah sesuatu yang tidak benar. terimakasih atas tulisan anda ini, membuat kebangkitan tidak dapat ditunda