Kamis, 27 November 2008

HIMAKOM NEWS

Sebagai media komunikasi, foto jurnalistik masih tergolong muda usia.Media komunikasi yang mulai mengusung foto sebagai sajian utamanya adalah majalah Life sekitar tahun 30-an. Life dianggap sebagai media perintis kemajuan fotojurnalistik lewat lembaran halaman majalah yang sarat dengan foto-foto berkualitas. Media ini kemudian melahirkan fotografer dunia seperti Robert Capa.Di Indonesia, pertumbuhan jurnalisme foto beriringan dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Rekaman gambar proklamasi kemerdekaan RI atau sekuen penyobekan bendera Belanda menjadi sang saka merah putih adalah imaji-imaji yang telah menjadi ikon-ikon dalam sejarah Indonesia.Gambar-gambar bersejarah tersebut bukan cuma hasil kegigihan sebuah sikap atau keberuntungan belaka, tapi juga dimungkinkan berkat kemunculan suatu formasi profesional yang dilandasi ketrampilan khusus, kecekatan, wawasan, keberanian dan komitmen yang mendalam.Alex Mendur beserta rekan-rekannya di IPPHOS dan Abdoel Wahab, sang perekam peristiwa penyobekan bendera adalah pewarta visual Indonesia pertama yang digembleng pendidikan kejuruan formal belanda dan Jepang, diasah oleh semangat kemerdekaan dan dibentuk dalam medan pertempuran.

Lebih dari Sekadar Foto
Pada dasarnya semua foto yang dimuat di media massa disebut sebagai foto jurnalistik, termasuk foto-foto peristiwa yang tampil di media maya seperti internet.Artinya semua produk foto yang mempunyai nilai berita bisa disebut sebagai foto jurnalistik.Foto launching produk rokok misalnya, jika diekspose untuk kepentingan umum juga termasuk dalam foto berita atau fotojurnalistik.Namun dalam perkembangannya, kebutuhan foto jurnalistik tidak berhenti untuk kepentingan pemberitaan.Produk foto bernilai berita kini juga tampil dalam pameran-pameran foto atau lomba foto.Sama seperti sebuah laporan tertulis, foto hasil belanjaan fotografer di lapangan juga memerlukan serangkaian proses pengolahan di meja redaksi.Pertimbangan layak siar sebuah foto berita juga meliputi unsur informatif, kehangatan, faktual, relevan, misi serta eksklusif.Kenneth Kobre dalam Photojournalism, mencontohkan apa yang diterapkan Washington Post dalam mengkategorikan sebuah foto berita, yaitu: informational, graphically appealing, emotional dan intimate. Artinya sebuah foto harus dapat menjawab rasa kehausan informasi sekaligus menyentuh nilai kemanusiaan yang terpenuhi berdasarkan standar kecepatan untuk merekam peristiwa serta menyampaikan isu dan kekuatan grafis.Untuk sebuah media intern, keberadaan sebuah foto juga sangat penting layaknya media umum lainnya. Foto kegiatan perusahaan umumnya dipotret dengan sudut pengambilan dan kemasan yang sederhana bahkan monoton. Tidak ada salahnya jika foto-foto yang tampil di media intern dikemas secara lebih baik. Bagaimanapun juga media intern tersebut suatu saat juga akan dibaca oleh khalayak lain. Tentang bagaimana mengemas foto untuk media intern akan dijelaskan dalam kegiatan praktek nanti. Atau bisa dilihat dalam beberapa contoh ini.Satu hal lagi yang secara ideal harus dikandung oleh sebuah foto berita, yaitu orisinal dan bukan hasil rekayasa termasuk rekayasa komputer grafis. Namun untuk kepentingan kaver sebuah majalah atau media intern, pemakaian komputer grafis terhadap foto adalah pertimbangan tersendiri dengan tujuan estetika untuk menarik pembaca.Seperti diuraikan di atas bahwa pada dasarnya semua foto yang dimuat di media massa adalah foto jurnalistik. Namun, tidak semua foto yang tampil di mendia massa itu memiliki bobot berita yang meliputi unsur 5 W+ 1 H. Tidak jarang sebuah foto hanya memiliki unsur 3W atau 4W tanpa 1H sehingga diperlukan teks foto untuk melengkapi unsur nilai beritanya
Oleh : http://rumakom.wordpress.com

Tidak ada komentar: