Selasa, 07 April 2009

REFERENSI KOMUNIKASI

Globalisasi Budaya
(Budi Hartanto -Iklan 06)

Pendahuluan
Budaya sebagai salah satu instrumen manusia beradaptasi dengan lingkungannya tanpa disadari akan selalu berkembang berbanding lurus dengan perkembangan lingkungannya tersebut. Nilai-nilai yang ada pun banyak yang mengalami pergeseran hingga akhirnya menjadi sesuatu yang dimaklumi dan diterima oleh masyarakat luas sebagai bentuk perubahan zaman.
Sebagai contoh paling sederhana dengan kehidupan kita sehari-hari, misalkan celana jeans yang kita pakai saat ini. Awalnya jeans diciptakan bagi para penambang emas di Amerika Serikat pada abad 18-an oleh Levi Strauss, karena sifat bahannya yang diyakini kuat dan tangguh namun tetap nyaman bagi ergonomis gerak manusia, tidak harus selalu dicuci, dan segala macam kelebihannya yang membuat hidup dianggap bisa menjadi lebih praktis dan efisien. Selanjutnya jeans mulai dipakai oleh para koboi dalam menunggang kuda hingga perkembangannya pada saat ini jeans mendunia baik secara fungsional maupun sebagai tren. Bahkan di beberapa tempat, nilai kesan ketidakformalan yang terkandung pada jeans seolah dapat diterima.
Seperti yang pernah dibahas sebelumnya dalam mata kuliah Komunikasi Antar Budaya, salah satu yang mempengaruhi pergeseran nilai-nilai budaya adalah penetrasi budaya baru terhadap budaya lama sebagai salah satu akibat semakin luasnya mobilisasi interaksi manusia satu terhadap manusia lainnya. Luasnya mobilisasi interaksi yang kian meluas inilah yang kerap disebut sebagai fenomena globalisasi. Mengapa budaya memakai jeans yang semula hanya dipakai oleh para budak pertambangan, koboi di Amerika Serikat bisa akhirnya mendunia? Inilah yang akan coba dibahas dan fokus pada :
1) Apa itu Budaya?
2) Apa itu Globalisasi?
3) Apa itu proses Globalisasi Budaya?
4) Faktor-faktor apa saja yang mendorong proses Globalisasi Budaya?


Budaya dan Analisa Proses Budaya
Mencoba mereview kembali kepada bahasan di awal perkuliahan tentang definisi budaya beserta lingkupnya yang telah dipelajari, budaya menurut wikipedia kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Secara garis besar budaya dikenal sebagai segala bentuk persepsi pengetahuan manusia yang diterima secara luas. Sedangkan menurut Sedangkan para ahli, mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai budaya. Menurut Edward B. Taylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sementara itu Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, menurut mereka kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Analisa proses berpikir menjadi sebuah budaya dijelaskan oleh Van Peursen sebagai berikut :

  1. Tahap Mitis
    Pada tahap ini manusia merasa terkepung oleh kekuatan-kekutan gaib, kekuasaan dewa-dewa dan alam raya. Hal tersebut akhirnya melahirkan mitos dan legenda sebagai bentuk kekaguman manusia terhadpa lingkungannya. Dalam kehidupan moderen pun hal-hal tersebut masih mewarnai kehdiupan manusia. Van Peursen mengatakan ciri yang paling membedakan tahap ini daripada tahap-tahap selanjutnya adalah pada tahap mitis ini proses berpikir manusia sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya irasional dalam memahami lingkungannya.
  2. Tahap Ontologis
    Pada tahap ini manusia mulai berpikir untuk meneliti segala sesuatunya secara rasional dan ‘ingin lepas’ dari kepungan kekuasaan mitis tersebut. Manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dianggap sebagai kepungan. Manusia mulai menyusun teori mengenai dasar dan hakekat dari segala sesuatu. Hasil dari berpikir tahap ini adalah sekarang yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan
  3. Tahap Fungsional
    Pada tahap ini manusia berpikir dalam lingkup kontemporer artinya berlaku sifat kekinian dan condong pada nilai guna (uses value). Manusia tidak lagi terpesona pada lingkungannya melainkan lebih kepada sikap perilaku memanfaatkan lingkungannya tersebut untuk kelangsungan hidupnya. Pada tahap inilah yang sangat berpengaruh pada era globalisasi (akan dibahas nanti), yakni ketika manusia berusaha mengambil nilai guna dari lingkungannya dengan interaksi yang semakin luas dan mendunia.
    Van Peursen tidak mengemukakan tahapan ini secara kronolgis, berarti suatu tahap bukan berarti lebih tinggi dari tahap yang lainnya, melainkan ketiga tahap itu saling melengkapi dan saling mendominasi satu sama lain.

Globalisasi
Globalisasi merupakan suatu keniscayaan ketika interaksi antar manusia semakin luas. Dalam memenuhi kebutuhan interaksinya yang ingin semakin meluas tersebut maka manusia melalui tahapan fungsional berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada dirinya. Globalisasi adalah salah satu akibat dari usaha manusia dalam mengatasi jarak fisik melalui teknologi. Menurut definisi globalisasi Jan Aart Scholte mengatakan globalisasi adalah, serangkaian proses dimana relasi sosial menjadi relatif terlepas dari wilayah geografis . Istilah distance is dead, atau jarak sudah mati kini rasanya telah menjadi kenyataan. Globalisasi memiliki ciri-ciri ‘terhapusnya’ batas-batas geografis, individu semakin terhubung dan akhirnya identitas pun tidak dapat berdiri dengan ajeg.
Menurut Mc Luhan globalisasi sebagai bentuk moderenisasi yang ditandai dengan kemenangan rasio manusia dalam mengatasi problem keterbatasan jarak fisik manusia. Saat Mc Luhan mengemukakan ide tersebut, saat itu masih belum terbayang arus informasi akan menjadi seperti ini. Ternyata usaha manusia dalam mengatasi keterbatasan jarak fisik tersebut telah diwujudkan dengan pesatnya teknologi khususnya teknologi komunikasi. Evolusi bentuk media komunikasi ternyata berhasil memghubungan manusia satu dengan manusia lainnya sebagai usaha memperluas interaksi. Diawali dari penemuan sederhana kawat telegraph oleh Thomas Alfa Edison, telepon oleh Alexander Graham Bell, pesawat radio oleh Marconi hingga menjelang tahun 1995 tanpa terasa sudah 30 juta orang yang berasal lebih dari seratus negara telah terkoneksi dengan internet . Kemajuan teknologi ini yang mengamini istilah distance is dead tadi. Maka tidak heran ketika konsep utopis Mc Luhan tentang global village pada tahun 1960an kini seolah terwujud dan menyebabkan konsep tersebut kini mulai digali lagi khususnya berkenaan dengan pendekatan media. Namun dalam bahasan pendekatan budaya konsep Mc Luhan ini juga bisa menjadi acuan. Globalisasi dalam konsep Mc Luhan dikatakan juga adalah semakin semunya heterogenitas dan pola perubahan yang terjadi menuju homogenitas budaya.

Globalisasi Budaya
Globalisasi budaya jika merujuk definisi budaya adalah serangkaian proses dimana relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografis. Hal ini memunculkan jalinan situasi yang integratif antara akal dan budi manusia di suatu belahan bumi yang lain dengan yang lain. Sedangkan jika mengacu pada konsep Mc Luhan tentang global village, adalah sebuah proses homogenitas nilai-nilai baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap kemajemukan (keheterogenitas) nilai-nilai yang ada di dunia akibat cairnya batas-batas geografis. Homogenitas seperti apa yang terjadi pada budaya di dunia ini? Para ahli-ahli dari kaum hiperglobalis mereka berpendapat tentang definisi globalisasi budaya adalah, …homogenization of the world under the auspices of American popular culture or Western consumerism in general . Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses homogenisasi dunia di bawah bantuan budaya popular Amerika atau paham konsumsi budaya barat pada umumnya.
Definisi hiperglobalis tersebut, jika bisa disamakan dengan keanekaragaman istilah globalisasi pada umumnya, yang salah satunya adalah Westernisasi. Dimana ada penyebaran kebudayaan Barat terutama kebudayaan Amerika. Namun, jika dilihat lebih lanjut, definisi dari paham hiperglobalis tidak bisa lepas daripada sifat-sifat yang cenderung mengandung pikiran ekonomi, atau berorientasi ekonomi.
Merunut dari orientasi ekonomi maka secara sederhana proses globalisasi budaya dapat dibuat skema sebagai berikut :


Fenomena homogenitas budaya tanpa disadari sudah mulai terasa pada masyarakat dalam berbagai bidang. Sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai-nilai budaya yang sekarang kita terapkan akan berlaku universal dimana pun kita berada. Pada tahap ini budaya akhirnya bersifat fungsional, yakni ketika nilai-nilai yang diterapkan oleh manusia semata sebagai bentuk pemanfaatan nilai guna tanpa memikirkan lagi asal,usul budaya tersebut.
Globalisasi budaya juga memiliki dampak negatif, sesuai dengan konsep Mc Luhan yakni dengan munculnya homogenitas maka secara tidak langsung memicu hilangnya identitas salah satu budaya yang terdominasi budaya lain.

Faktor-faktor Penyebab Globalisasi Budaya
Sebenarnya secara tersirat faktor-faktor penyebab globalisasi budaya telah disebutkan di atas yakni perkembangan teknologi. Dalam sebuah situs , dikatakan sebagai faktor utama penyebab globalisasi budaya adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi, khususnya pada awal abad ke-20. Sementara itu, situs lainnya yang membahas tentang global pop culture menyatakan sejumlah faktor penyebab terjadinya globalisasi budaya adalah sebagai berikut: causes included the development of new technologies and the economic globalization of capital, labor, natural resources, production, and consumption. Political factors also played a role, from imperialism and nationalism to totalitarian states and the Cold War; so to did social struggles over the construction of race, class, ethnicity, religion, and gender.
Ternyata, perkembangan teknologi tidak semata menjadi faktor utama, dalam hal ini globalisasi ekonomi juga ikut berperan, bahkan hingga kepada faktor-faktor politik. Hal ini juga menjelaskan mengapa globalisasi tidak terlepas dari politik, ekonomi, bahkan budaya, yang ditenggarai sebagai globalisasi ketiga.
Globalisasi Budaya yang dirasakan sebagai satu kesatuan paket dari globalisasi-globalisasi lainnya, dikatakan sebagai globalisasi ketiga. Diminique Wolton, Kepala Pusat Kajian Center of National Research Scientific (CNRS) Prancis, dalam kesempatannya ketika berkunjung ke Indonesia pada tanggal 13 Desember 2004 menyatakan , Dunia dewasa ini akan memasuki perkembangan baru globalisasi. Setelah globalisasi politik dan globalisasi ekonomi umat manusia memasuki globalisasi budaya. Globalisasi politik dimulai dengan terbentuknya PBB. Sedangkan globalisasi ekonomi dimulai sejak perdagangan bebas dalam kurun waktu antara tahun 70-an. Dari ketiga globalisasi tersebut, sektor budaya lah yang paling sulit dilakukan. Sedang yang paling mudah adalah globalisasi ekonomi…
Pernyataan Diminique mengenai sulitnya globalisasi budaya untuk dilakukan, tentunya belum mampu dipastikan sebagai berita baik bagi kalangan pendukung globalisasi. Hal ini tentunya akan menjadi pendorong yang tepat bagi kaum skeptis untuk terus menolak globalisasi, meskipun globalisasi tidak dapat dihentikan begitu saja, kabar baiknya globalisasi budaya terus saja berjalan hingga sekarang ini. Sehingga berhasil memunculkan suatu istilah global pop culture, sebagai suatu bukti adanya globalisasi budaya ditengah tentangan kaum skeptis.
Kehadiran global pop culture atau budaya populer global, secara sejarah tidak dapat terlepaskan dari perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan 20. Pada abad ke-19 pembangunan pada aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel-novel menjadikan jarak yang terpisah antar suatu masyarakat di suatu belahan dunia terhadap belahan dunia lainnya untuk mengakses tren kultur, tidak terhambat oleh masalah tempat. Masuk kepada abad-20 penemuan radio, televisi, dan komputer menjadikannya fenomena dalam perluasan akses. Hasilnya, tren kultur popular pada suatu regional tertentu dengan mudah menyebar ke belahan dunia lainnya, dimana budaya itu bisa dimodifikasi oleh tradisi lokal dan bisa menjadi salah satu yang termasuk kultur popular lokal.


Kesimpulan
Globalisasi adalah suatu keniscayaan, artinya sebuah proses mekanisme alamiah sebagai buah perkembangan bentuk interaksi manusia yang semakin luas di seluruh dunia. Pada taraf globalisasi budaya, tahap fungsional lebih mendominasi pola pikir manusia terhadap nilai-nilai budaya. Globalisasi membuat dunia menjadi lebih homogen disebabkan meluasnya proses kesepakatan bersama dalam hal menegosiasikan pesan yang berimbas pada hilangnya identitas budaya yang terdominasi oleh budaya lain.
Faktor-faktor penyebab globalisasi utama adalah kemajuan teknologi, namun selain itu masih banyak juga faktor-faktor tidak langsung yang menyebabkan globalisasi terjadi.

Sumber :

  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
  2. Mc Luhan, Marshal ; Manusia dan Media dalam Refleksi Budaya, Lembaga Studi Filsafat, Jakarta 1992
  3. http://feelsafat.files.wordpress.com/2007/12/globalisasi-budaya-ditengah-masalah-identitas-nasional.pdf
  4. Teknologi dan Global Village, Dalam bahan kuliah Komunikasi Internasional FISIP UNAS
  5. David Held, Anthony Mcgrew, David Goldblatt dan Jonathan Peron, Global Transformations, Polity Press, Cambridge, 1999. p327.
  6. http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi
  7. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/, Indonesia Perlu Siap Hadapi Globalisasi Ketiga, Senin, 12 Desember 2004, 14.22 WIB